BAGIAN KETIGABELAS
PERANG BADR
[Tulisan 3 Dari 4]
PERANG BADR
[Tulisan 3 Dari 4]
Serentak pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah turun:
“Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘Aku bersama kamu.’ Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka.” (Qur’an, 8: 12)
“Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan juga.” (Qur’an, 8: 17)
Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia, yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum sekali bila mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim dan tidak membunuh orang-orang tertentu dari kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih besar daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan ikrar ‘Aqaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabat-sahabatnya dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu’l-Bakhtari - salah seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini, pada waktu larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
“Wahai penghuni perigi! Wahai ‘Utba b. Rabi’a! Syaiba b. Rabi’a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! ...” - Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi itu satu satu. “Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah bangar?” kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
“Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada kamu,” jawab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
“Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu Hudhaifa”? tanyanya.
“Sekali-kali tidak, Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekali ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, sesudah makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.”
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka yang melakukan serangan: kami yang mengumpulkannya; jadi itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran kalau tidak karena kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihakpun yang akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu menjaganya.
Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan dimintanya supaya dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau akan ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha ke Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya kepada Abdullah b. Ka’b.
Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra’, pada sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman Allah:
“Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua golongan itu saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa.” (Qur’an, 8: 41)
Sebahagian besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat, terutama angkatan lamanya - bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di kalangan Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau yang jauh dari sana.
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’l-Harith dan yang seorang lagi bernama ‘Uqba b. Abi Mu’ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan ‘Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya:
“Muhammad pasti akan membunuh aku,” katanya. “Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut.”
“Ini hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. ‘Umair - orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuh aku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi,” kata Mushiab. “Dulu kau menyiksa sahabat-sahabatnya.”
“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat dipercaya,” kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia segera berkata:
“Nadzr tawananku,” teriaknya.
“Pukul lehernya,” kata Nabi a.s. “Ya Allah. Semoga Miqdad mendapat karuniaMu.”
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke ‘Irq’z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya ‘Uqba b. Abi Mu’ait juga dibunuh.
“Muhammad,” katanya, “siapa yang akan mengurus anak-anak?”
“Api,” jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh ‘Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
“Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah ditaklukkan,” tenak mereka. “Ini untanya seperti sudah sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu, sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya puteri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan suaminya, Usman b. ‘Affan, juga ditinggalkan supaya merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
“Bari kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan, pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah suci itu mendapat bencana.”
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a isteri Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada kabilah Banu ‘Afra’, tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. ‘Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:
“Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati sajalah dengan terhormat!.”
“Sauda!” Muhammad memanggilnya dan dalam rumah. “Kau membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!”
“Rasulullah,” katanya. “Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk sehingga saya berkata begitu.”
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:
“Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi; kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr,” kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr,” kata mereka. “Di antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar ibn’l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah,” katanya. “Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya. “Rasulullah,” katanya. “Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya berkata:
“Muhammad pasti akan membunuh aku,” katanya. “Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut.”
“Ini hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. ‘Umair - orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuh aku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi,” kata Mushiab. “Dulu kau menyiksa sahabat-sahabatnya.”
“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat dipercaya,” kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia segera berkata:
“Nadzr tawananku,” teriaknya.
“Pukul lehernya,” kata Nabi a.s. “Ya Allah. Semoga Miqdad mendapat karuniaMu.”
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke ‘Irq’z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya ‘Uqba b. Abi Mu’ait juga dibunuh.
“Muhammad,” katanya, “siapa yang akan mengurus anak-anak?”
“Api,” jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh ‘Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
“Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah ditaklukkan,” tenak mereka. “Ini untanya seperti sudah sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu, sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya puteri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan suaminya, Usman b. ‘Affan, juga ditinggalkan supaya merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
“Bari kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan, pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah suci itu mendapat bencana.”
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a isteri Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada kabilah Banu ‘Afra’, tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. ‘Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:
“Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati sajalah dengan terhormat!.”
“Sauda!” Muhammad memanggilnya dan dalam rumah. “Kau membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!”
“Rasulullah,” katanya. “Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk sehingga saya berkata begitu.”
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:
“Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi; kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr,” kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr,” kata mereka. “Di antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar ibn’l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah,” katanya. “Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya. “Rasulullah,” katanya. “Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya berkata:
“Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?” (Qur’an, 21: 67)
Atau seperti katanya:
“Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang.” (Qur’an. 14: 36)
11 Manaha harfiah berarti ‘tempat wanita-wanita menangisi mayat’ (LA). (A).
0 comments:
Post a Comment