BAGIAN KESEBELAS
TAHUN PERTAMA DI YATHRIB
[Tulisan 4 Dari 4]
TAHUN PERTAMA DI YATHRIB
[Tulisan 4 Dari 4]
Orang-orang Yahudi merasa sesak napas terhadap Muhammad. Terpikir oleh mereka akan melakukan tipu-daya terhadapnya, akan meyakinkannya sampai ia keluar meninggalkan Medinah seperti yang terjadi karena gangguan-gangguan Quraisy dahulu sampai ia dan sahabat-sahabatnyapun keluar meninggalkan Mekah.
Lalu mereka mengatakan kepadanya, bahwa para rasul sebelum dia semua pergi ke Bait’l-Maqdis dan memang di sana tempat tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul, iapun akan berbuat seperti mereka, dan kota Medinah ini akan dianggapnya sebagai kota perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekah dengan al-Masjid’l-Aqsha. Akan tetapi, apa yang sudah mereka kemukakan kepadanya itu bagi Muhammad tidak perlu lama-lama berpikir untuk mengetahui, bahwa mereka sedang melakukan tipu-muslihat terhadap dirinya. Pada saat itu Tuhan mewahyukan kepadanya, menjelang tujuhbelas bulan ia tinggal di Medinah, untuk menghadapkan kiblatnya ke al-Masjid’l-Haram, Rumah Ibrahim dan Ismail:
“Kami sebenarnya melihat wajahmu yang menengadah ke langit itu. Akan Kami hadapkan mukamu ke arah kiblat yang kausukai. Hadapkan mukamu ke arah al-Masjid’l-Haram. Dimana saja kau berada hadapkanlah mukamu kearah itu.” (Qur’an, 2: 142-143)
Orang-orang Yahudi ternyata menyesalkan kejadian itu. Sekali lagi mereka berusaha memperdayakannya, dengan mengatakan, bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya kalau ia kembali ke kiblat semula. Di sini firman Tuhan menyebutkan:
“Dari orang-orang yang masih bodoh akan mengatakan: Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblat yang dulu. Katakanlah: Timur dan Barat itu kepunyaan Allah. DipimpinNya siapa yang disukaiNya ke jalan yang lurus. Begitu juga Kami jadikan kamu suatu umat pertengahan, supaya kamu menjadi saksi kepada umat manusia, dan Rasulpun menjadi saksi kepadamu. Dan Kami jadikan kiblat yang biasa kaupergunakan itu, hanyalah untuk menguji siapa pula yang berbalik belakang. Dan itu memang berat, kecuali bagi mereka yang telah mendapat pimpinan Tuhan.” (Qur’an, 2: 144)
Waktu sedang sengit-sengitnya terjadi polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu, delegasi pihak Nasrani dari Najran tiba di Medinah, terdiri dari enampuluh buah kendaraan. Diantara mereka terdapat orang-orang terkemuka, orang-orang yang sudah mempelajari dan menguasai seluk-beluk agama mereka. Pada waktu itu penguasa-penguasa Rumawi yang juga menganut agama Nasrani sudah memberikan kedudukan, memberikan bantuan harta, memberikan bantuan tenaga serta membuatkan gereja-gereja dan kemakmuran buat kaum Nasrani Najran itu. Boleh jadi delegasi ini datang ke Medinah hanya karena mereka sudah mengetahui adanya pertentangan antara Nabi dengan orang-orang Yahudi, dengan harapan mereka akan dapat mengobarkan pertentangan itu lebih hebat sampai menjadi permusuhan terbuka. Dengan demikian orang-orang Nasrani yang berada di perbatasan Syam dan Yaman dapat membebaskan diri dari intrik-intrik Yahudi dan sikap permusuhan orang-orang Arab.
Dengan datangnya delegasi ini dan polemiknya dengan Nabi serta dibukanya kancah pertarungan theologis yang sengit antara orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam maka ketiga agama Kitab ini sekarang berkumpul. Dari pihak Yahudi, mereka memang menolak samasekali ajaran Isa dan Muhammad, yang dasarnya karena sikap keras kepala, seperti yang sudah kita lihat. Mereka mendakwakan bahwa ‘Uzair itu putera Allah. Sedang pihak Nasrani, paham mereka adalah Trinitas dan menuhankan Isa. Sebaliknya Muhammad, ia mengajak orang kepada keesaan Tuhan dan kepada kesatuan rohani yang sudah diatur oleh alam sejak awal yang ajali sampai pada akhir yang abadi - sejak dunia ini berkembang sampai ke akhir zaman. Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu bertanya kepadanya, kepada siapa-siapa diantara para rasul itu ia beriman. Ia menjawab:
“Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkanNya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub serta anak-cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang telah diberikan Tuhan kepada nabi-nabi. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kamipun patuh kepadaNya.” (Qur’an 2: 136)
Ia sangat menyesalkan sikap mereka yang sifatnya hendak menimbulkan keraguan dengan cara bagaimanapun tentang keesaan Tuhan. Diingatkannya mereka, bahwa mereka telah mengubah kata-kata dari aslinya dalam kitab-kitab mereka itu dan bahwa mereka ternyata berlainan haluan dari apa yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul-rasul yang sudah mereka akui kenabiannya, dan bahwa apa yang diajarkan oleh Isa, oleh Musa dan oleh mereka yang sudah terdahulu, sedikitpun tidak berbeda dari apa yang diajarkannya sekarang. Apa yang telah diajarkan mereka itu, adalah Kebenaran Abadi yang akan tampak jelas dan sederhana sekali bagi setiap orang yang berjiwa pantang tunduk selain kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ia akan melihat Alam ini sebagai suatu kesatuan yang tak terpisah-pisah. Ia akan melihatnya dengan pandangan hati nurani yang lebih tinggi diatas segala kehendak dan tujuan yang bersifat sementara, di atas segala dorongan materi; lepas dari sifat tunduk buta kepada segala ilusi dan angan-angan orang awam, kepada yang diterimanya dari nenek-moyang mereka.
Dimanakah ada suatu pertemuan yang hakekatnya lebih besar dari pertemuan yang kini dialami oleh Yathrib? Tiga agama bertemu di tempat ini, yang sampai sekarang saling mempengaruhi perkembangan dunia. Di tempat ini ketiganya bertemu untuk suatu tujuan dan cita-cita yang tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan dengan suatu tujuan materi, yang sampai saat ini dikejar-kejar dunia namun tiada juga berhasil - melainkan tujuannya adalah rohani semata-mata. Dalam hal Nasrani dan Yahudi ini, dibelakangnya berdiri ambisi-ambisi politik serta keinginan-keinginan orang-orang beruang dan berkuasa. Sebaliknya Muhammad, tujuannya adalah rohaniah dan perikemanusiaan semata-mata, yang jalannya telah ditunjukkan Tuhan kepadanya dengan bentuk kata yang dialamatkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh umat manusia. DikatakanNya kepada mereka:
Dimanakah ada suatu pertemuan yang hakekatnya lebih besar dari pertemuan yang kini dialami oleh Yathrib? Tiga agama bertemu di tempat ini, yang sampai sekarang saling mempengaruhi perkembangan dunia. Di tempat ini ketiganya bertemu untuk suatu tujuan dan cita-cita yang tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan dengan suatu tujuan materi, yang sampai saat ini dikejar-kejar dunia namun tiada juga berhasil - melainkan tujuannya adalah rohani semata-mata. Dalam hal Nasrani dan Yahudi ini, dibelakangnya berdiri ambisi-ambisi politik serta keinginan-keinginan orang-orang beruang dan berkuasa. Sebaliknya Muhammad, tujuannya adalah rohaniah dan perikemanusiaan semata-mata, yang jalannya telah ditunjukkan Tuhan kepadanya dengan bentuk kata yang dialamatkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh umat manusia. DikatakanNya kepada mereka:
“Katakanlah; ‘Orang-orang Ahli Kitab! Marilah kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa tak ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa kita takkan mempersekutukanNya dengan apapun, dan tidak pula antara kita saling mempertuhankan satu sama lain, selain daripada Allah.’ Tetapi kalau mereka menyimpang juga, katakanlah: ‘Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang Muslimin.’” (Qur’an, 3: 64)
Apa pula yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Yahudi, yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Nasrani atau oleh yang lain, mengenai ajakan ini: Jangan menyembah apa dan siapapun selain Allah, jangan mempersekutukanNya dan jangan pula saling mempertuhankan satu sama lain selain daripada Allah! Bagi jiwa yang benar-benar jujur, jiwa manusia yang telah mendapat kehormatan dengan adanya akal pikiran dan perasaan, tidak bisa lain tentu akan beriman kepada ini, tanpa yang lain. Akan tetapi, dalam arti hidup manusia, disamping segi rohani, juga ada segi materinya. Kelemahan ini yang membuat kita dapat menerima pihak lain menguasai kita, dengan jalan membeli nyawa kita, jiwa kita, kalbu kita. Ilusi ini yang telah membunuh kehormatan, perasaan serta cahaya hati nurani manusia. Segi materi ini, yang tergambar dalam bentuk harta dan kekayaan, dalam kepalsuan gelar-gelar dan pangkat, yang telah membuat Abu Haritha - salah seorang Nasrani Najran yang paling luas ilmu dan pengetahuannya - pernah mengeluarkan isi hatinya kepada salah seorang teman, bahwa ia yakin pada apa yang dikatakan Muhammad itu. Setelah temannya itu bertanya:
“Apa lagi yang masih merintangi kau menerima ajarannya, kalau kau sudah mengetahui ini?”
“Yang masih merintangi aku ialah apa yang sudah diberikan orang kepada kami,” jawabnya. “Kami sudah diberi kedudukan, diberi harta dan kehormatan. Dan yang mereka kehendaki supaya kami menentangnya. Kalau kuterima ajakannya itu tentu semua yang kaulihat ini akan dicopot dari kami.”
Kepada ajaran inilah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu oleh Muhammad diajak. Orang-orang Nasrani diajaknya saling berdoa,9 sedang dengan pihak Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian. Dalam pada itu pihak Kristen telah pula mengadakan permusyawaratan antara sesama mereka, yang hasilnya kemudian diberitahukan kepadanya, bahwa mereka tidak akan saling berdoa dan akan membiarkannya ia dengan agamanya itu dan mereka kembali kepada agama mereka. Tetapi mereka juga melihat, betapa cenderungnya Muhammad menjalankan keadilan itu, yang juga diikuti jejaknya oleh sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu mereka minta supaya ada seorang yang dapat dikirimkan bersama-sama mereka guna mengadili masalah-masalah yang bagi mereka sendiri masih merupakan perselisihan pendapat. Dalam hal ini Muhammad mengutus Abu ‘Ubaida ibn’l-Jarrah guna memutuskan hal-hal yang diperselisihkan itu.
Peradaban yang batu pertamanya telah diletakkan oleh Muhammad dengan ajaran-ajaran serta teladan yang diberikannya itu, kini sudah makin diperkuat lagi. Terpikir olehnya sekarang dan oleh sahabat-sahabatnya dari kalangan Muhajirin, bagaimana seharusnya sikap, dan keadaan mereka menghadapi Quraisy itu suatu pemikiran yang tak pernah mereka lupakan sejak mereka hijrah dari Mekah. Motif yang mendorong mereka berpikir demikian banyak sekali. Di Mekah ini terletak Ka’bah, Rumah Ibrahim, tempat mereka dan semua orang Arab berziarah. Dapatkah mereka melepaskan diri dari kewajiban suci yang sejak dulu mereka jalankan sampai pada waktu mereka dikeluarkan dari Mekah? Disana masih tinggal keluarga mereka yang mereka cintai dan yang mereka sayangkan bila masih tetap dalam kehidupan syirik. Di sana harta-benda dan perdagangan mereka ditinggalkan, yang telah disita oleh Quraisy tatkala mereka hijrah. Kemudian lagi, tatkala mereka memasuki Medinah, mereka diserang penyakit demam, sehingga bukan main penderitaan yang mereka alami. Mereka sembahyangpun sambil duduk. Makin keras mereka merindukan Mekah. Mereka telah dikeluarkan secara paksa dari Mekah, seolah mereka keluar sebagai pihak yang dikalahkan. Dan tidak pula menjadi adat orang-orang Quraisy dapat bersabar terhadap ketidakadilan serupa itu atau menyerah tanpa mengadakan pembalasan. Disamping semua dorongan itu, dorongan naluri juga merangsang mereka, yakni nostalgia - rindu kampung halaman, kampung halaman tempat mereka dilahirkan, tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang, gunungnya, airnya, dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali mereka bersahabat. Diatas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka masih kecil dan di sana pula tempat-tinggal mereka sesudah mereka besar. Kesana hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan dan hartanya ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali kedalam tanah tempat ia dijadikan itu.
[
Naluri inilah yang lebih keras mendorong hati kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka bagaimana seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah terang, sikap itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah cukup sabar mereka selama tigabelas tahun terus-menerus menanggung penderitaan. Agama tidak membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka yang sudah menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.
Apabila sikap permusuhan itu memang dibenci dan tidak dibenarkan, sebaliknya yang diperkuat dan dianjurkan adalah sikap persaudaraan, tapi di samping itu yang juga diharuskan ialah membela diri, membela kehormatan, membela kebebasan beragama dan membela tanah-air. Untuk membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar ‘Aqaba yang kedua dengan penduduk Yathrib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, kepada Rumah Suci, kepada tanah air, Mekah yang mereka cintai itu? Kearah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu ditujukan, sampai selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan agama Allah serta seruan kebenaranpun akan terjunjung tinggi.
9 Yula’inu, sama maksudnya dengan Yabtahilu, atau mubahala yang dalam terjemahan ini dipakai kata saling berdoa. Nabi mengusulkan kepada pihak Kristen mengadakan suatu mubahala, suatu pertemuan khidmat, dengan masing-masing pihak yang mempertahankan pendiriannya berdoa sungguh-sungguh kepada Ailah, agar Tuhan menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. “Barangsiapa membantah engkau tentang itu, sesudah datang pengetahuan padamu, katakanlah: Marilah kita kumpulkan anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami sendiri dan diri kamu, kemudian kita berdoa sungguh-sungguh kepada Allah. Kita mintakan agar laknat Tuhan dijatuhkan kepada pihak yang dusta.” (Qur’an, 3: 61). Mereka yang benar-benar murni dan benar-benar yakin takkan ragu-ragu dalam hal ini. Tetapi pihak Kristen disini ternyata mengundurkan diri. (A)
0 comments:
Post a Comment