7.3. DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI KEPADA ISRA’

BAGIAN KEDELAPAN
DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI KEPADA ISRA’
[Tulisan 3 Dari 3]

Demikian cerita Dermenghem tentang Isra’ dan Mi’raj. Kitapun dapat melihat, apa yang diceritakannya itu memang tersebar luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, sekalipun akan kita lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana-sini dilebihi atau dikurangi.

Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan Nabi ‘alaihissalam sesudah berjumpa dengan Adam di langit pertama, ketika mengatakan: “Kemudian kulihat orang-orang bermoncong seperti moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam mulut mereka dan keluar dari dubur. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?”. “Mereka yang memakan harta anak-anak yatim secara tidak sah,” jawab Jibril. Kemudian kulihat orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat dengan cara keluarga Fir’aun menyeberangi mereka seperti unta yang kena penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam api. Mereka diinjak-injak tak dapat beranjak dari tempat mereka. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?”. “Mereka itu tukang-tukang riba,” jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang, di hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik, di samping ada daging yang buruk dan busuk. Mereka makan daging yang buruk dan busuk itu dan meninggalkan yang gemuk dan baik. Aku bertanya: “Siapakah mereka itu, Jibril”? “Mereka orang-orang yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tuhan dan mencari wanita yang diharamkan,” jawabnya. Kemudian aku melihat wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu wanita yang memasukkan laki-laki lain bukan dari keluarga mereka ...” Kemudian aku dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang budak perempuan, bibirnya merah. Kutanya dia: “Kepunyaan siapa engkau?”-Aku tertarik sekali waktu kulihat. “Aku kepunyaan Zaid ibn Haritha,” jawabnya. Maka Rasulullah s.a.w. lalu memberi selamat kepada Zaid ibn Haritha.”

Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup Nabi yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang akan melihat bermacam-macam hal lagi di samping itu. Sudah menjadi hak setiap penulis sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di mana benar ketelitian dan penyelidikan yang mereka adakan dalam hal ini semua; mana yang boleh dijadikan pegangan (askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih (otentik), dan mana pula yang hanya berupa buah khayal orang-orang tasauf dan sebangsanya.

Kalau di sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan pula di sini tempatnya untuk menyatakan apakah isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah mi’raj dengan ruh dan isra’ dengan jasad, ataukah isra’ dan mi’raj itu semuanya dengan ruh - maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan ada dasarnya pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas pendapat-pendapat itu orang menyatakan pendiriannya sendiri, yang akan berbeda pula satu dari yang lain.

Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan tadi dan sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Qur’an dan diucapkan Rasul.

“Sungguh aku ini manusia seperti kamu juga yang diberikan wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa,” (Qur’an. 18: 110)

dan bahwa satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur’an, dan

“Bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukanNya, tetapi Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, siapa saja yang dikehendakiNya.” (Qur’an, 4:48)

Orang yang berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang lain- ia akan bertanya, apa sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita kemukakan. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal ini sebelum kita, atau belum.

Isra’ dan mi’raj ini dalam hidup kerohanian Muhammad mempunyai arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih besar dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu. Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah dipersatukan oleh kesatuan wujud ini, yang sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau sesuatu yang dapat mengalangi intelek dan jiwa Muhammad, yang akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas oleh kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat diarahkan menurut akal pikiran. Pada saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi -sejak dunia mulai berkembang sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam perkembangan kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan itu, dengan jalan kebaikan dan keindahan dan kebenaran, dalam mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan, kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga. Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau tidak dengan suatu kekuatan yang berada di atas kodrat manusia yang pernah dikenalnya.

Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad yang tidak sanggup mengikuti jejak pikirannya yang begitu tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan dan bukan pula aib tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial memang bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran inipun selalu terbentur pada batas-batas ini; tenaga kita sudah tidak mampu mengatasinya.

Apabila kita mau menyebutkan sebagai contoh -dengan sedikit perbedaan tentunya, sehubungan dengan apa yang kita hadapi sekarang ini- cerita orang-orang buta yang ingin mengetahui gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah buntutnya; yang seorang lagi berkata, bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah kakinya; yang ketiga berkata, bahwa gajah itu runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah taringnya; yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak bergerak-gerak, sebab kebetulan yang dipegangnya adalah belalainya.

Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk pertama kalinya. Boleh juga kiranya kita mengambil perbandingan antara persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya kedalam isra’dan mi’raj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak sebelum Adam sampai pada akhir hari kebangkitan dan yang akan menghilangkan pula kesudahan ruang ini, ketika ia melihat dengan mata batin dari Sidrat’l Muntaha ke alam semesta ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut -dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang yang dapat menangkap arti isra’-mi’raj itu. Tatkala itu ia berhadapan dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh, bahkan seperti partikel-partikel yang melekat pada tubuh itu dengan susunannya yang tidak terpengaruh karenanya. Dari mana pula partikel-partikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan jantungnya, pancaran jiwanya, pikirannya yang penuh dengan enersi yang tak kenal batas; sebab, dari wujud hidup itulah ia berhubungan dengan segala kehidupan alam ini.

Isra’ dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan mi’raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur, begitu indah dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah suatu pendakian ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Pertemuan rohani demikian ini sudah mengandung selawat bagi Muhammad, Isa, Musa dan Ibrahim, suatu manifestasi yang kuat sekali dalam arti kesatuan hidup agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam edarannya yang terus-menerus menuju kepada kesempurnaan.

Ilmu pengetahuan pada masa kita sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui pula mi’raj dengan ruh. Apabila tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang benarpun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya dengan tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada Marconi ketika ia menemukan suatu arus listrik tertentu dari kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia. Dengan suatu kekuatan gelombang ether arus listrik itu telah dapat menerangi kota Sydney di Australia.

IImu pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang ether dengan radio, telephotography (facsimile transmisi) dan teleprinter lainnya, suatu hal yang tadinya masih dianggap suatu pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga yang masih tersimpan dalam alam semesta ini setiap hari masih selalu memperlihatkan yang baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi seperti yang sudah dicapai oleh jiwa Muhammad itu, lalu Allah memperjalankan dia pada suatu malam dari Masjid’l-Haram ke al-Masjid’l-Aqsha, yang disekelilingnya sudah diberi berkah guna memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya, maka itupun oleh ilmu pengetahuan dapat pula dibenarkan. Arti semua ini ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah dan agung, dan telah pula membayangkan kesatuan rohani dan kesatuan alam semesta ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang sebenarnya dan kedudukan alam ini seluruhnya.

Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal isra’ itu oleh Muhammad disampaikan kepada mereka, merekapun lalu menanggapinya dari bentuk materi - mungkin atau tidaknya isra’ itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan kesangsian juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang tadinya sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah ini sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana boleh jadi Muhammad hanya satu malam saja pergi-pulang ke Mekah?!

Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu kemudian berbalik murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi Abu Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan bahan pembicaraan.

“Kalian berdusta,” kata Abu Bakr.

“Sungguh,” kata mereka. “Dia di mesjid sedang bicara dengan orang banyak.”

“Dan kalaupun itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakr lagi, “tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan.”

Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan Bait’l-Maqdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.

Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:

“Rasulullah, saya percaya.”

Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan “AshShiddiq.”9

Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra’ itu dengan jasad ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraqa mereka menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu. Mereka memang belum pernah mendengar hal semacam itu. Lalu diceritakannya tentang adanya kafilah yang pernah dilaluinya di tengah jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat, dialah yang menunjukkan. Pernah ia minum dari sebuah kafilah lain dan sesudah minum lalu ditutupnya bejana itu. Pihak Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun membenarkan apa yang telah diceritakan Muhammad itu.

Saya kira, kalau dalam hal ini orang bertanya kepada mereka yang berpendapat tentang isra’ dengan ruh itu, tentu mereka tidak akan merasa heran sesudah ternyata ilmu masa kita sekarang ini dapat mengetahui mungkinnya hypnotisma menceritakan hal-hal yang terjadi di tempat-tempat yang jauh. Apalagi dengan ruh yang dapat menghimpun kehidupan rohani dalam seluruh alam ini. Dengan tenaga yang diberikan Tuhan kepadanya ia dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup ini dari awal alam azali sampai pada akhirnya yang abadi.


Catatan kaki:


9 Yang tulus hati, yang sangat jujur (A).




0 comments:

Post a Comment