6.8. PERBUATAN-PERBUATAN QURAISY YANG KEJI

BAGIAN KETUJUH
PERBUATAN-PERBUATAN QURAISY YANG KEJI
[Tulisan 3 Dari 3]

Diluar itu, untuk mencapai tingkat pengertian yang lebih tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta benda duniawi, oleh kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk kepentingan duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang dan bertempur. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghambat mereka menancapkan kuku dan gigi mereka ke batang leher kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang tinggi itu. Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka akan diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.

Bagaimana pendapat kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu yang melihat Muhammad makin sehari makin banyak pengikutnya? Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu suatu ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang sudah setia kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai kepada orang-orang Arab di seluruh jazirah. Sebelum melakukan itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika dapat mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda, pemboikotan, blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap musuh-musuh besar mereka itu.

Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah mereka takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka pada Hari Perhitungan kelak. Kita sudah melihat masyarakat yang begitu hanyut dalam hidup bersenang-senang dengan cara yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap perdagangan dan riba itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Disamping itu, dengan membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa mereka itu sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan qidh (anak panah) di depan Hubal, sebelum ia melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya kejahatan-kejahatan dan dosa-dosanya itu diampuni oleh berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang untuk berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan, perampokan, melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan pelacuran selama ia mampu memberi suap kepada dewa-dewa itu berupa kurban-kurban dan penyembelihan-penyembelihan.

Sekarang datang Muhammad membawakan ayat-ayat yang begitu menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari Kemudian mereka akan dibangkitkan kembali sebagai kejadian baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong mereka hanyalah perbuatan mereka sendiri.

“Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya. Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri. Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang ingkar, orang-orang yang sudah rusak.” (Qur’an, 80: 33-42)

Dan suara dahsyat itu datang.

“Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya. Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan diri. Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan menyembunyikannya.” (Qur’an, 70: 8-18)

“Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia! Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup. Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali. Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak dapat menolong aku. Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu, campakkan ia kedalam api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai, panjangnya tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada orang miskin. Maka, sekarang disini tak ada lagi kawan setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa.” (Qur’an, 69: 18-37)

Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebahagian kecil dari yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula membacanya, mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang terdapat dalam Qur’an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika kita membacanya kembali.

“... Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan.” (Qur’an, 4: 56)

Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa, mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.

Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa yang didengarnya itu. Tidak ada diantara mereka itu yang membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya. Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta menyembelih kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.

Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati, mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka.

Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut hanya dengan mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlumba-lumba memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala suka dan dukanya.

Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti langit dan bumi, disitu takkan terdengar cakap kosong, juga tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan “selamat.” Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata itulah yang ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari pembalasan itu.

Boleh jadi orang akan merasa heran bagaimana jantung orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada. Padahal perjuangan antara yang baik dengan yang jahat itu sudah berkecamuk dalam sejarah manusia sejak dunia ini berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam. Orang-orang Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan Muhammad melengkapi mayat mereka dengan segala perbekalan untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula “Kitab Orang Mati” lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan peringatan-peringatan. Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula gambar-gambar timbangan, perhitungan, taubat dan siksaan. Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk makhluk-makhluk yang sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya menjadi suci. Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin mencapai Nirwana.

Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa Cahaya. Juga agama yang dibawa Musa, agama yang dibawa Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan yang kekal, adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaanNya. Sekarang orang-orang Arab. Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka adalah pedagang-pedagang yang dalam perjalanan mereka pernah mengadakan hubungan dengan agama-agama itu semua. Bagaimana mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah orang-orang pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan alam lepas tak terbatas. Lebih mudah bagi mereka melukiskan ruh-ruh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma pada siang hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam gulita. Ruh-ruh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka anggap bersemayam dalam diri berhala-berhala yang akan mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.

Jadi sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam gaib yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi, mereka sebagai masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih cenderung pada yang nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup bersenang-senang, minum minuman keras, sama sekali mereka menolak adanya balasan hari kemudian. Apa yang diperoleh orang dalam hidupnya, menurut anggapan mereka, baik atau buruk adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi sesudah hidup ini. Oleh karena itu wahyu yang berisi peringatan dan berita gembira pada mula kerasulan itu kebanyakannya turun di Mekah; karena ia ingin menyelamatkan ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula bila ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah mereka lakukan itu. Sudah sepatutnya pula bila ia ingin mengangkat mereka dari lembah penyembahan berhala kepada penyembahan Allah Yang Tunggal, Maka Kuasa.

Demi keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya, Muhammad serta orang-orang yang beriman sudi memikul segala macam siksaan dan pengorbanan, memikul penderitaan rohani dan jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah tumpah darah, menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah kita lihat di atas. Dan seolah cinta Muhammad makin dalam kepada mereka, makin besar hasratnya ingin menyelamatkan mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada mereka guna menolong mereka dari penyakit paganisma dan gelimang dosa yang.menimpa mereka itu. Pada tahun-tahun permulaan itu tiada henti-hentinya wahyu memperingatkan dan membukakan mata mereka.

Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak mau mengakui, tetap menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang mati-matian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam sesudah Islam mendapat kemenangan, sesudah Allah menempatkannya diatas segala agama.

Catatan kaki:
3. Menolak burung artinya melempari burung dengan batu
kerikil atau mengusirnya dengan suara. Kalau burung terbang ke arah kanan, maka itu alamat buruk.







0 comments:

Post a Comment