5.6. DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR

BAGIAN KELIMA
DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR
[Tulisan 1 Dari 4]

Highlight: 
  • Percakapan Khadijah dengan Waraqa bin Naufal 
  • Wahyu terhenti 
  • Islamnya Abu Bakr - 
  • Muslimin yang mula-mula 
  • Ajakan Muhammad kepada keluarganya - 
  • Quraisy menghasut penyair-penyairnya terhadap Muhammad - 
  • Muhammad menista dewa-dewa Quraisy 
  • Utusan Quraisy kepada Abu Talib 
  • Kedudukan Muhammad terhadap pamannya 
  • Quraisy menyiksa kaum Muslimin - 
  • Kaum Muslimin hijrah ke Abisinia 
  • Islamnya Umar 
MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.

Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata hatinya Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.

Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.

Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar, kemudian katanya: “Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah.”

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:

“Orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.” (Qur’an 74: 1-7)

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.

“Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah,” jawabnya. “Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?”

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira’, sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.

Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.

Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka’bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa berkata: “Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula.” Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.

Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat.

Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu. Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.

Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.

Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu. Ia merasa terasing dari orang, dan dari dirinya. Kembali ia merasa dalam ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon Khadijah pernah mengatakan kepadanya: “Mungkin Tuhan tidak menyukai engkau.”

Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua Hira’. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya, menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun tidak pula kurang rasanya.

Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya:
Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira’ atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa gunanya lagi hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering lalu berakhir?

Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu - sesudah sekian lama terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman Tuhan:

“Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberiNya tempat berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu diberiNya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu, jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta, jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau sebarkan.” (Qur’an, 93: 1-11)
Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya. Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan sudah tidak menyukai Muhammad dan iapun tidak lagi merasa takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.

Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah, dan hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang selain itu batil adanya. Hanya kepadaNya hati manusia dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya pula ruh akan kembali. “Sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang.”

Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu, dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi, berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang baru akan dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala gangguan demi menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang meminta, jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai seorang piatu, lalu dilindungiNya di bawah asuhan kakeknya Abd’l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin, telah diberi kekayaan dengan amanat Tuhan kepadanya. Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya, kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan yang penuh cinta kasih, yang memberi nasehat dengan rasa kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu diberiNya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu. Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat mungkin.

Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.

Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun bersembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang. Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu Talib adalah keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada masa itu adalah yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim: “Abu Talib saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya itu. Aku akan mengambilnya seorang kaupun seorang untuk kemudian kita asuh.”

Karena itu Abbas lalu mengasuh Ja’far dan Muhammad mengasuh Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.

Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku’ dan sujud serta membaca beberapa ayat Qur’an yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak ifu tertegun berdiri: “Kepada siapa kalian sujud?” tanyanya setelah sembahyang selesai.

“Kami sujud kepada Allah,” jawab Muhammad, “Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah”

Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah semata tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa nabi utusanNya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan ‘Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Qur’an. Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa indahnya.

Catatan kaki:
1.  Pada umumnya kata ‘namus besar’ (an-namus’l-akbar) oleh beberapa penulis yang datang kemudian diberi anotasi, bahwa kata namus berarti ‘Jibnl.’ Mungkin ini didasarkan kepada (N) dan (LA) yang juga mengartikan demikian. Mengenai kata-kata ini Dr. Haekal tidak memberikan catatan. Demikian juga Ibn Ishaq dan ibn Hisyam. Salah seorang Orientalis - Montgomery Watt misalnya - memberikan catatan bahwa kata namus biasanya diambil dan bahasa Yunani nomos, dan ini berarti undang-undang atau kitab suci yang diwahyukan, (Muhammad at Mecca, p. 51). Sebaliknya pemakaian kata namus bukan istilah Qur’an, sebab Qur’an menggunakan kata Taurat apabila yang dimaksud dengan namus itu undang-undang Nabi Musa (A).

 

0 comments:

Post a Comment