BAGIAN KEDUA
MEKAH, KABAH DAN QURAISY
[Tulisan 2 Dari 4]
MEKAH, KABAH DAN QURAISY
[Tulisan 2 Dari 4]
Cerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detail. Dan yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetail itu berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat itu terdapat mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar disambut dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak. Dari percampuran perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur Ibrani-Mesir di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain, menyebabkan keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan tentang Hajar yang kebingungan setelah melihat air yang habis menyerap serta tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa dan Marwa dan tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka masih diragukan.
Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu. Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar hanyut dalam paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama membangun Ka’bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada, tentu itu akan memperkuat pendapat Sir William Muir. Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan sejarah itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahim yang telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya, ia pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah bepergian dan biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam garis besamya sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini bagi mereka dapat diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam kitab-kitab suci lainnya!
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu dan “Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi semesta alam. Disitulah terdapat keterangan-keterangan yang jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa memasukinya menjadi aman.” (Qur’an, 3: 96-97)
Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu. Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar hanyut dalam paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama membangun Ka’bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada, tentu itu akan memperkuat pendapat Sir William Muir. Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan sejarah itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahim yang telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya, ia pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah bepergian dan biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam garis besamya sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini bagi mereka dapat diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam kitab-kitab suci lainnya!
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu dan “Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi semesta alam. Disitulah terdapat keterangan-keterangan yang jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa memasukinya menjadi aman.” (Qur’an, 3: 96-97)
“Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu tempat bersembahyang, dan kami serahkan kepada Ibrahim dan Ismail menyucikan RumahKu bagõ mereka yang bertawaf, mereka yang tinggal menetap dan mereka yang ruku’ dan sujud. Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata: ‘Tuhanku, jadikan tempat ini Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya, mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.’ Ia berkata: ‘Dan bagi barangsiapa yang menolak iman akan Kuberi juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa api, tujuan yang paling celaka,. Dan ingatlah tatkala Ibrahim dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka berdoa): ‘Tuhan, terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah Engkau Maha mendengar, Maha mengetahui.” (Qur,an, 2: 125-127)
Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia supaya beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah lbrahim dan Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula dilakukan? Dan sejak kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasi oleh paganisma? Hal ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang kita kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian1 yang menyembah bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan manifestasi kebesaranNya. Oleh karena lebih banyak yang tidak dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit, berasal dan beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan, kemudian batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap begitu agung, sehingga tidak cukup bagi seorang orang Arab hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di dalam Ka’bah, bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa saja dan Ka’bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan cara-cara peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau bagi pencipta bintang-bintang itu. Dengan cara-cara demikian menjadi kuatlah kepercayaan paganisma itu, patung-patung dikuduskan dan dibawanya sesajen-sesajen untuk itu sebagai kurban.
Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik dan menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa sejarah, menerangkan tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab. Demikian juga Diodorus Siculus mcnyebutkan tentang rumah di Mekah yang diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma yang sudah begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim di sana bertahan tidak begitu lama.
Dalam abad-abad itu sudah datang pula para nabi yang mengajak kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada paganisma. Datang Hud mengajak kaum ‘Ad yang tinggal di sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada Allah; tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang sebagian besar malah menyombongkan diri dan berkata: “O Hud, kau datang tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu. Kami tidak percaya kepadamu.” (Qur’an, 11: 53) Bertahun-tahun lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah buas dan congkak. Demikian juga Saleh datang mengajak kaum Thamud supaya beriman. Mereka ini tinggal di Hijr yang terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi’l-Qura ke arah timur daya dari Mad-yan (Midian) dekat Teluk ‘Aqaba. Sama saja, hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti ajakan Hud juga. Kemudian datang Syu’aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak di Hijaz, mengajak supaya mereka menyembah Allah. Juga tidak didengar Merekapun mengalami kehancuran seperti yang terjadi terhadap golongan ‘Ad dan Thamud.
Selain para nabi itu juga Qur’an telah menceritakan tentang ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka’bah itu. Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun; mereka datang dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman Tuhan: “Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami mengutus seorang rasul.”(Qur’an 17: 15)
Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, siqaya, rifada, nadwa, liwa’ dan qiyada dipegang semua oleh Qushay. Hijaba ialah penjaga pintu Ka’bah atau yang memegang kuncinya. Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada tiap tahun musim. Liwa’ ialah panji yang dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh, dan qiyada ialah pimpinan pasukan bila menuju perang. Jabatan-jabatan demikian itu di Mekah sangat terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan orang-orang Arab semua tertuju ke Ka’bah itu.
Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu pihak tak ada hubungannya satu sama lain dengan Ka’bah serta kedudukannya dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga hubungannya.
Tatkala Ka’bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal kita - tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah Amalekit dan Jurhum. Sesudah Ismail menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya memasang sendi-sendi rumah itu, barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk beberapa waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian. Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Mekah masa itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil selama beberapa generasi sebelum Qushayy.
Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Mekah masih di tangan Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin ‘Amr ibn Harith. Selama dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza’a merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka’bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza’a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab, nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.
Fatimah bint Sa’d bin Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan Rabi’a bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya mengenal Rabi’a sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah Rabi’a terjadi permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan dari pihak mereka Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada ibunya.
“Ayahmu lebih mulia dari mereka,” kata ibunya kepada Qushayy. “Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah menempati Rumah Suci.”
Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang di Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyia - orang yang berpandangan tajam dari kabilah Khuza’a. Tatkala Qushayy melamar puterinya, Hubba, ternyata lamarannya diterima baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba puterinya. Tetapi Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari kabilah Khuza’a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman keras.
Khuza’a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila pimpinan Ka’bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang paling kuat dan sangat dihargai di Mekah. Mereka mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza’a dari Mekah. Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Seperti sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat, bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah berada di tangan Qushayy, bangunan apapun belum ada di tempat itu, selain Ka bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza’a atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan itu, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka. Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah ia mengumpulkan Quraisy dan menyuruh mereka membangun di tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya Dar’n-Nadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat ini mereka bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat ini pula.
Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka’bah itu, dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf sekitar Rumah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat tawaf tersebut.
Anak Qushayy yang tertua ialah Abd’d-Dar. Akan tetapi Abd Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah mendapat tempat pula.
Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah tidak kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana mestinya, kunci Rumah itupun diserahkannya kepada Abd’d-Dar, demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan. Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil mengeluarkan Khuza’a dari Mekah. Ketika mewajibkan itu ia berkata kepada mereka:
“Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan, keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung RumahNya. Mereka itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka pulang kembali.”
0 comments:
Post a Comment