PENGANTAR CETAKAN KEDUA
[Tulisan 9 Dari 9]
[Tulisan 9 Dari 9]
GHARANIQ DAN TABUK
Lalu apa yang terdapat dalam buku riwayat hidup Nabi dan hadis tentang mujizat itu kadang berbeda-beda pula. Sekalipun menurut buku-buku hadis sudah dipastikan benar tapi kadang masih merupakan sasaran kritik juga. Masalah gharaniq misalnya, dalam pengantar ini ada juga kita sebutkan sepintas lalu, dan akan kita sebutkan lagi lebih terperinci dalam teks nanti. Cerita membelah dada juga sudah berbeda-beda sebagaimana diceritakan oleh Halima inang pengasuh Nabi kepada ibunya; begitu juga mengenai waktu terjadinya sehubungan dengan usia Muhammad.
Apa yang diceritakan oleh buku-buku riwayat hidupnya dan buku-buku hadis tentang cerita Zaid dan Zainab sudah dapat ditolak dari dasarnya, dengan alasan-alasan yang kita kemukakan ketika membicarakan peristiwa tersebut dalam buku ini juga terdapat perbedaan-perbedaan mengenai beberapa kejadian selama perjalanan pasukan ‘Usra (yang mengalami kesukaran) itu ke Tabuk. Dalam Shahih Muslim melalui Mu’adh b. Jabal diceritakan, bahwa Nabi berkata kepada mereka yang pergi bersama-sama ke Tabuk itu: “Besok kamu akan sampai ke mata air Tabuk, dan kamu baru akan sampai ke sana sesudah siang hari. Barangsiapa di antara kamu sampai ke tempat itu jangan ada yang menjamah air itu samasekali sebelum aku sampai.” Kamipun lalu sampai tapi sudah ada dua orang yang sudah sampai terlebih dulu ke tempat tersebut. Mata air itu memercik seperti tali. Katanya: Lalu Rasulullah s.a.w. bertanya kepada dua orang itu: Adakah air itu kamu jamah? Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.w. memakinya dan dikata-katakannya mereka itu. Katanya: Lalu mereka menciduk mata air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai dapat ditampung dalam sebuah tempat. Katanya: Rasulullah s.a.w. lalu mencuci kedua tamgan dan mukanya dengan itu. Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air itupun lalu memercikkan air berlimpah-limpah - atau katanya deras - Abu Ali sangsi yang mana yang dikatakan - sehingga orang-orangpun mendapatkan air itu. Kemudian katanya:
Mu’adh, kalau kau masih akan pamjang umur kau akan melihat di sini penuh dengan kebun-kebun” (Shahih Muslim, jilid 7, p. 60, cetakan Astana, 1382H).
Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi menceritakan kisah Tabuk itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal mujizat tidak disebut-sebut. Tapi ceritanya berjalan lain sekali, tidak sama dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Ibn Hisyam dengan menyebutkan:
Lalu apa yang terdapat dalam buku riwayat hidup Nabi dan hadis tentang mujizat itu kadang berbeda-beda pula. Sekalipun menurut buku-buku hadis sudah dipastikan benar tapi kadang masih merupakan sasaran kritik juga. Masalah gharaniq misalnya, dalam pengantar ini ada juga kita sebutkan sepintas lalu, dan akan kita sebutkan lagi lebih terperinci dalam teks nanti. Cerita membelah dada juga sudah berbeda-beda sebagaimana diceritakan oleh Halima inang pengasuh Nabi kepada ibunya; begitu juga mengenai waktu terjadinya sehubungan dengan usia Muhammad.
Apa yang diceritakan oleh buku-buku riwayat hidupnya dan buku-buku hadis tentang cerita Zaid dan Zainab sudah dapat ditolak dari dasarnya, dengan alasan-alasan yang kita kemukakan ketika membicarakan peristiwa tersebut dalam buku ini juga terdapat perbedaan-perbedaan mengenai beberapa kejadian selama perjalanan pasukan ‘Usra (yang mengalami kesukaran) itu ke Tabuk. Dalam Shahih Muslim melalui Mu’adh b. Jabal diceritakan, bahwa Nabi berkata kepada mereka yang pergi bersama-sama ke Tabuk itu: “Besok kamu akan sampai ke mata air Tabuk, dan kamu baru akan sampai ke sana sesudah siang hari. Barangsiapa di antara kamu sampai ke tempat itu jangan ada yang menjamah air itu samasekali sebelum aku sampai.” Kamipun lalu sampai tapi sudah ada dua orang yang sudah sampai terlebih dulu ke tempat tersebut. Mata air itu memercik seperti tali. Katanya: Lalu Rasulullah s.a.w. bertanya kepada dua orang itu: Adakah air itu kamu jamah? Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.w. memakinya dan dikata-katakannya mereka itu. Katanya: Lalu mereka menciduk mata air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai dapat ditampung dalam sebuah tempat. Katanya: Rasulullah s.a.w. lalu mencuci kedua tamgan dan mukanya dengan itu. Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air itupun lalu memercikkan air berlimpah-limpah - atau katanya deras - Abu Ali sangsi yang mana yang dikatakan - sehingga orang-orangpun mendapatkan air itu. Kemudian katanya:
Mu’adh, kalau kau masih akan pamjang umur kau akan melihat di sini penuh dengan kebun-kebun” (Shahih Muslim, jilid 7, p. 60, cetakan Astana, 1382H).
Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi menceritakan kisah Tabuk itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal mujizat tidak disebut-sebut. Tapi ceritanya berjalan lain sekali, tidak sama dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Ibn Hisyam dengan menyebutkan:
“Ibn Ishaq mengatakan: Sesudah tiba waktu pagi dan air tidak ada, mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w. berdoa. Maka Allah mengirimkan awan dan hujanpun turun. Orang-orang dapat minum dan dapat membawa air menurut keperluan mereka. Ibn Ishaq mengatakan: Maka ‘Ashim b. ‘Umar b. Qatada menceritakan kepada saya, lewat Mahmud b. Labid melalui orang-orang dari Banu Abd’l Asyhal, mengatakan, kataku kepada Mahmud: Adakah diantara orang-orang itu yang sudah dapat membeda-bedakan saudara, bapa, paman dan keluarganya. Lalu kata Mahmud lagi: Beberapa orang dari golongan saya mengatakan tentang adanya orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya. Ia selalu pergi bersama Rasulullah s.a.w. ke mana saja. Demikian juga mengenai soal air di Hijr dan mengenai Rasulullah s.a.w. yang berdoa, sehingga Allah mengirimkan awan, dan turunnya air hujan. Orang-orang dapat minum. Kata mereka kami mendatanginya seraya mengatakan: Apalagi sesudah itu!? Katanya: Awan lalu.”
METODA SAYA DALAM PENYELIDIKAN INI
Adanya perbedaan ini di mata ilmu pengetahuan sebenarnya tidak mudah untuk dapat dipastikan. Orang yang mau menguji ini jangan hanya berpegang pada pendapat yang lebih besar dan berpengaruh saja dengan dua macam sumber yang berlain-lainan, yang satu tak dapat menguatkan, yang lain tak dapat pula membantah. Apabila mereka memang tak dapat menguatkan sumber itu, paling kurang mendiamkannya. Jika nanti ada orang lain yang menemukan bukti-bukti positif, sudahlah; kalau tidak, dalam arti ilmiah ia tetap belum dapat dipastikan.
Inilah metoda yang saya pakai dari semula, ketika saya mengadakan penyelidikan mengenai peri hidup Muhammad pembawa risalah Islam ini. Sejak terniat oleh saya akan membuat karangan ini, memang yang saya kehendaki ialah suatu studi ilmiah sesuai dengan metoda ilmu pengetahuan sekarang, demi kebenaran semata-mata. Itu jugalah yang saya sebutkan dalam prakata buku ini, dan yang menjadi harapan saya pada penutup cetakan pertama buku ini. Mudah-mudahan maksud saya itu dapat terlaksana dan usaha inipun sudah merupakan suatu penyelidikan ilmiah demi kebenaran ilmiah semata. Saya harapkan dengan ini bahwa saya telah merintis jalan ke arah penyelidikan-penyelidikan dalam bidang yang sama dengan lebih luas dan dalam, meliputi masalah-masalah psikologi dan spiritual, yang pada dasarnya akan mengantarkan umat manusia kepada peradaban modern yang sama-sama kita cari itu. Saya yakin bahwa dengan mendalami penyelidikan demikian ini, rahasia-rahasia akan banyak diketemukan orang, suatu hal yang pada mulanya diduga tak ada jalan bagi ilmu pengetahuan akan dapat mengungkapkannya. Tetapi kemudian ternyata, penyelidikan-penyelidikan psikologis dalam hal ini dapat memberikan analisa dan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada segenap kaum cendekiawan. Rahasia-rahasia alam semesta dalam arti spiritual dan psikologis itu makin dikenal oleh umat manusia, hubungannya dengan alampun akan makin erat, dan akan bertambah pula ia merasa bahagia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi, seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudianpun diketahui orang pula.
Oleh karena itu, setiap orang yang mau menggarap penyelidikan seperti ini, seharushya itu ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin saja. Tujuan pekerjaan inipun sebenarnya tidak bersifat agama semata-mata - seperti mungkin ada yang menduganya demikian - melainkan tujuan sebenarnya ialah agar umat manusia mengenal bagaimana ia harus menempuh jalan yang akan mengantarkannya kepada hidup yang lebih sempurna, yang oleh Muhammad sudah ditunjukkan jalannya kepada kita. Guna memahami tujuan itu memang tidak mudah, bila orang belum mendapatkan jalan ini dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang. Sumber daripada ini semua ialah pengetahuan dan iImu yang sebenarnya. Pemikiran yang tidak dilandasi oleh pengetahuan, tidak didasarkan kepada metoda-metoda ilmiah, sering akan membawa hasil yang salah dan meleset. Karena itu malah jauh dari tujuan sebenarnya. Kodrat kita sebagai manusia akan membuat pemikiran kita besar sekali terpengaruh oleh temperamen (watak) kita sendiri. Sering juga mereka yang bersamaan ilmunya berbeda-beda pula pemikirannya. Tidak lain sebabnya ialah karena adanya perbedaan temperamen itu, sekalipun dalam mencapai maksud dan tujuan mereka sama jujur. Ada orang yang temperamennya tinggi, pemikirannya tajam, cepat bereaksi. Ada pula yang punya kecenderungan sufi, bawaannya stoik (tenang), menjauhi segala yang bersifat kebendaan serta pengaruhnya. Ada juga yang punya kecenderungan materialistik yang begitu besar, terpengaruh oleh segi materialismanya saja, sehingga tak dapat lagi ia memikirkan adanya tenaga-tenaga lain yang dapat dirasakan, yang ada di sekitarnya, yang sebenarnya menguasai benda (materi) itu.
Di samping itu banyak lagi yang lain. Karena temperamen mereka yang berbeda-beda, maka berbeda pula pandangan dan penilaian mereka terhadap sesuatu. Dalam bidang kulturil dan kehidupan praktis, perbedaan ini merupakan suatu kenikmatan besar bagi umat manusia, tapi dalam bidang ilmu dan nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yang hendak mencari kebaikan bagi seluruh umat manusia, hal ini merupakan suatu bencana. Tujuan studi sejarah hendaknya mencari nilai-nilai yang lebih tinggi dari hakekat hidup itu, dan hendaknya dapat pula menghindari pengaruh-pengaruh emosi dan temperamen itu. Tak ada jalan lain dalam menghindarkan diri dari hal semacam itu kecuali bila orang benar-benar mau disiplin terhadap metoda ilmiah, dan jangan pula ilmu dan pembahasan ilmiah tentang sejarah atau bukan tentang sejarah itu hanya sebagai alat guna memperkuat nafsu dan tingkah lakunya sendiri.
PENYELIDIKAN-PENYELIDIKAN ORIENTALIS
Dari kalangan Orientalis yang dalam penyelidikan mereka disusun dalam pola ilmiah itu, masih banyak yang terpengaruh oleh tingkah laku dan temperamen demikian itu, juga tidak sedikit dari kalangan penulis-penulis Muslimin sendiri yang demikian. Dan anehnya, kedua mereka itu masing-masing mengikuti apa yang enak saja menurut selera dan kecenderungan mereka sendiri - dengan mengambil peristiwa-peristiwa yang dipakainya sebagai dasar penulisan mereka, yang katanya ilmiah, dengan maksud demi kebenaran. Dalam pada itu ia masih terpengaruh sekali oleh temperamen dan kecenderungan nafsunya sendiri. Sebagai bukti, bagaimanapun mereka masing-masing berusaha secara jujur dan teliti mau menguji satu sama lain tentang apa yang mereka tulis, namun pasti yang terbayang depan mata mereka, ialah peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh khayal mereka sendiri juga.
Sekiranya orang mau berusaha menurut kemampuannya, melepaskan diri dari hawa-nafsu, dan berpegang hanya pada cara-cara ilmiah saja, tentu tulisan demikian itu akan lebih kuat berpengaruh dalam jiwa, tidak seperti tulisan yang dipengaruhi oleh nafsu belaka. Saya sudah mencoba seperlunya menerangkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan itu masing-masing - dalam pengantar cetakan kedua ini - seringkas mungkin, disesuaikan dengan tempat yang ada ini pula. Mudah-mudahan berhasil juga kiranya saya mencari kejujuran yang dimaksud itu.
Memang tidak mudah bagi kaum Orientalis itu dalam menyelidiki masalah-masalah Islam demikian atau mengadakan penelitian dengan bersikap jujur, betapapun mereka mau berniat baik dan bersikap bebas dalam penelitian ilmiah itu. Tidak mudah bagi mereka menguasai semua seluk-beluk bahasa Arab sekalipun ilmu bahasa itu sudah mereka kuasai. Ditambah lagi mereka masih terpengaruh oleh cara hidup Kristen Eropa demikian rupa, sehingga kebanyakan mereka memandang agama-agama itu dengan pandangan penuh prasangka pula, sedang sebagian kecil lagi, yang masih memegang ajaran Kristennya, terpengaruh pula oleh adanya pertentangan agama Kristen dengan ilmu pengetahuan. Maka dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Islam, merekapun lalu terpengaruh seperti dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Kristen atau tentang agama pada umumnya. Maksud saya ialah terpengaruh oleh pertentangan yang merusak. Bagi kaum Orientalis yang jujur ini bukan suatu hal yang tereela. Tak ada orang yang dapat membebaskan diri dari ketentuan-ketentuan lingkungannya sesuai dengan tempat dan waktu.
KAUM MUSLIMIN DAN PENYELIDIKAN
Akan tetapi, penyelidikan-penyelidikan mereka dalam masalah-masalah Islam masih diliputi oleh kabut purbasangka, yang jauh dari kebenaran. Karena itu juga, beban yang berat dan penting itu, hendaknya dipikulkan ke atas bahu para cendekiawan dari kalangan dunia Islam sendiri, baik yang aktif dalam ilmu agama atau dalam bidang ilmu lainnya, yakni beban melakukan pembahasan-pembahasan mengenai Islam secara teliti dan jujur, dalam lingkungan metoda yang ilmiah. Kalau mereka melakukan itu, dengan bantuan pengetahuan mereka mengenai seluk-beluk bahasa Arab dan kehidupan orang Arab, maka penyelidikan mereka ini akan ada artinya sehingga akan membuat Orientalis-orientalis itu - atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka - meninjau kembali sebagian besar pendapat mereka itu. Mereka akan dapat diyakinkan dengan hasil yang diperoleh oleh kaum cendekiawan dunia Islam itu dengan rasa puas dan senang hati.
Untuk mencapai hasil demikian inipun bukan soal yang mudah. Ia memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam penyeIidikan itu, perlu mengadakan perbandingan dan pemikiran yang bebas. Tapi itu bukan suatu hal yang tidak mungkin, juga bukan soal yang terlalu sulit. Sungguhpun begitu ini adalah soal penting sekali dan akan besar pula pengaruhnya bagi hari kemudian Islam dan hari kemudian seluruh umat manusia.
Menurut hemat saya, melakukan pekerjaan ini sebaiknya harus dibedakan dulu antara dua perioda yang berlain-lainan dalam sejarah Islam: Yang pertama, dari permulaan Islam hingga terbunuhnya Usman. Yang kedua, dari terbunuhnya Usman hingga tertutupnya pintu ijtihad. Pada perioda pertama kaum Muslimin masih sepenuhnya kompak, belum dirusak oleh cerita-cerita perbedaan tentang khilafat, juga tidak oleh perang Ridda atau oleh penaklukan kaum Muslimin atas beberapa daerah yang sudah mereka kuasai.
Tetapi sesudah Usman terbunuh, perselisihan di kalangan kaum Muslimin mulai berjangkit. Perang saudara antara Ali dan Muawiya pecah dan pemberontakan-pemberontakan terus berkecamuk, kadang terang-terangan, kadang dengan sembunyi-sembunyi. Ambisi politik telah memegang peranan penting dalam kehidupan agama. Guna menilai adanya kontradiksi itu, dapatlah orang membandingkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pidato Abu Bakr sesudah pelantikannya (sebagai Khalifah) tatkala ia berkata:
“Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku tidak baik, luruskanlah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang lemah di kalangan kamu adalah kuat sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya insya Allah, dan yang kuat bagi saya adalah lemah sesudah haknya itu nanti saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tapi apabila saya membangkang terhadap (perintah) Allah dan Rasul, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah shalat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian,” - dengan pidato Mansur dari Banu ‘Abbas, yang sesudah ia mencapai puncak mahligainya mengatakan: “Saudara-saudara, saya adalah penguasa kamu dengan anugerah dan dukunganNya. Saya adalah pengawal hartaNya. Saya melaksanakan ini atas kehendakNya dan keinginanNya, memberikan harta atas perkenanNya. Allah telah menjadikan saya sebagai kunci. Kalau dikehendakiNya akan dibuka, maka dibukaNyalah saya, supaya dapat.memberikan dan membagi-bagi rejeki kamu. Kalau Ia menghendaki menutup saya, maka ditutupNyalah saya ...”
Biarlah orang membandingkan sendiri kedua macam pidato itu supaya dapat melihat perubahan yang begitu besar atas prinsip-prinsip kehidupan Islam selama masa kurang dari dua abad, suatu perubahan yang mengalihkan cara musyawarah kaum Muslimin, kepada kekuasaan mutlak yang diambil atas nama hak suci itu.
Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang sampai membawa akibat perubahan dasar-dasar hukum, adalah kenyataan yang telah menyebabkan kedaulatan Islam kemudian menjadi lemah dan mundur. Di samping berkembangnya Islam dan peradaban Islam selama dua abad berturut-turut sesudah terbunuhnya Usman, di samping adanya kegiatan Islam memasuki beberapa kerajaan, menaklukkan raja-raja di bawah Mongolia dan Saljuk - sesudah yang pertama mengalami kehancuran - maka perioda pertama yang berakhir dengan terbunuhnya Usman, adalah perioda yang telah membina prinsip-prinsip yang sebenarnya dalam kehidupan Islam pada umumnya. Hanya ini yang boleh dijadikan pegangan yang pasti dan positif akan segala yang telah terjadi itu supaya orang mengetahui prinsip-prinsip yang sebenarnya.
Adapun sesudah perioda itu, di samping adanya perkembangan ilmu dan pengetahuan pada masa dinasti Umayya - lebih-lebih pada masa dinasti ‘Abbasia, tangan-tangan kotor sudah mulai menodai prinsip-prinsip pokok yang sebenarnya itu, untuk kemudian diganti dengan ajaran-ajaran yang sering sekali bertentangan dengan jiwa Islam, dan kebanyakannya malah untuk maksud-maksud politik syu’ubia 1 (rasialisma).
Adanya orang-orang asing, orang-orang Yahudi dan Nasrani yang pura-pura masuk Islam, mereka itulah pula yang turut menyebarkan cara-cara baru itu, mereka tidak ragu-ragu turut mendorong diciptakannya hadis-hadis yang dihubung-hubungkan kepada Nabi ‘alaihissalam, atau mendakwakan sesuatu kepada para Khalifah yang mula-mula, yang memang tidak sesuai dengan sejarah hidup dan sifat-sifat mereka itu.
Apa yang ditulis orang mengenai perioda belakangan ini, tidak dapat dijadikan pegangan secara ilmiah tanpa mengadakan penelitian kembali dan kritik yang benar-benar mendalam dengan tidak dipengaruhi oleh nafsu atau kecenderungan-kecenderungan pribadi. Yang pertama sekali perlu kita lakukan ialah menolak segala yang bersifat kontradiksi dan tidak sesuai dengan Qur’an, meskipun tumbuhnya kontradiksi itu dihubung-hubungkan kepada Nabi. Yang boleh dipercaya dari apa yang langsung diceritakan dan dapat juga dipakai sebagai dasar menguji yang datang kemudian, ialah masa permulaan Islam sampai waktu terbunuhnya Khalifah yang ketiga. Saya kira kalau semua ini kita lakukan dengan segala ketelitian ilmiah, kita akan dapat memberikan suatu lukisan yang sebenarnya tentang ajaran Islam yang murni, dan dari kehidupan Islam yang pertama pula; yakni kehidupan intelektual dan spiritual yang begitu kuat dan luhur, sehingga membuat Arab pedalaman dari jazirah itu dalam waktu beberapa puluh tahun saja dapat tersebar di muka bumi ini, guna menegakkan - dalam pelbagai negara - dasar-dasar peri kemanusiaan yang paling luhur yang pernah dikenal sejarah. Kalau dalam hal ini kita berhasil, kepada umat manusia tentu kita akan dapat mengungkapkan suatu ufuk baru yang akan mengantarkan kita sampai dapat mengetahui seluk-beluk alam dalam arti psikologis dan spiritual, dan dengan mengetahui ini, akan makin erat pula hubungan itu dan akan membawa kenikrnatan dan kebahagiaan hidup bagi umat manusia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudianpun diketahui orang pula.
Kalau dalam hal ini kita berhasil, tentu itu adalah jasa Islam terhadap umat manusia sekarang, seperti yang juga sudah terjadi pada permulaan sejarah Islam dahulu, tatkala orang-orang Arab keluar dari lingkungan jazirahnya, keluar menyebarkan prinsip-prinsip Islam yang luhur ke seluruh dunia.
Langkah pertama yang perlu kita lakukan dalam hal ini - dalam mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan - ialah benar-benar mendalami studi tentang sejarah hidup Nabi, sehingga dapat membukakan jalan bagi umat manusia ke arah peradaban yang selama ini menjadi cita-citanya. Dalam melakukan studi ini Qur’an adalah sumber yang paling otentik, sebagai kitab yang tidak akan membawa kepalsuan dan tidak pula dicampur dengan segala hal yang masih meragukan. Kitab yang selama tigabelas abad ini tetap dan akan tetap terus demikian selama hidup manusia, sebagai suatu mujizat sejarah dalam kemurnian teksnya, sebagaimana sudah dikuatkan oleh firman Allah: “Kami yang telah memberikan Qur’an ini dan Kami pula yang menjaganya” (Qur’an, 15: 9). Seperti sejak dahulu juga, ia akan tetap sebagai mujizat Muhammad yang hidup, sejak diwahyukan Allah kepadanya sampai berakhirnya dunia dengan segala isinya ini. Segala yang berhubungan dengan sejarah hidup Muhammad harus dihadapkan kepada Qur’an, mana yang cocok itu adalah benar, dan mana yang tidak cocok samasekali tidak benar.
Dalam studi permulaan ini, memang ke arah itu yang saya usahakan, sekuat kemampuan saya. Sesudah selesai cetakan pertama buku ini saya tinjau kembali, saya bersyukur kepada Allah atas taufikNya itu. Sayapun berharap semoga Tuhan akan memberi petunjuk dan pertolongan serta membukakan jalan bagi barangsiapa yang akan meneruskan studi demikian ini secara ilmiah dengan lebih mendalam lagi.
Tuhan, kepadaMu juga kami mempercayakan diri, kepadaMu juga kami kembali dan kepadaMu juga kesudahan segala ini.
1. Suatu paham politik pada masa permulaan persekemakmuran Islam bangsa-bangsa yang menolak hak-hak istimewa orang-orang Arab (A).
0 comments:
Post a Comment