PENGANTAR CETAKAN KEDUA
[Tulisan 4 Dari 9]
[Tulisan 4 Dari 9]
MUSHAF USMAN
“Karena banyaknya dan jauhnya perbedaan itu, ia merasa gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman turun tangan. “Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang kitab mereka sendiri seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Khalifahpun dapat menerima saran itu. Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit dimintai bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy. Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha lalu dibawa, dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Islam itupun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali dengan pengamatan yang luarbiasa, untuk kali terakhir. Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari Quraisy itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab yang bermacam-macam.”
“Selesai dihimpun, naskah-naskah menurut Qur’an ini lalu dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya naskah-naskah itu dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafsha.”
“Maka yang sampai kepada kita adalah Mushhaf Usman. Begitu cermat pemeliharaan atas Qur’an itu, sehingga hampir tidak kita dapati -bahkan memang tidak kita dapati- perbedaan apapun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian adanya - namun Qur’an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Qur’an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah Usman yang malang itu.
“Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitabpun selain Qur’an yang sampai duabelas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermatnya. Adanya cara membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja dalam sejarah, yang tak ada hubungannya dengan Mushhaf Usman.”
“Sekarang, sesudah ternyata bahwa Qur’an yang kita baca ialah teks Mushaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Usman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah Qur’an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi’ah kemudian menuduh bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima akal. Ketika Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan pihak Alawi (golongan Mu’awiya dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada bahaya yang mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah maksud-maksud tertentu yang akan membuat Usman sampai melakukan pelanggaran yang akan sangat dibenci oleh kaum Muslimin itu. Orang-orang yang memahami dan hafal benar Qur’an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya mereka masih hidup tatkala Usman mengumpulkan Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai Pengganti.”
“Dapatkah diterima akal - pada waktu kemudian mereka sudah memegang kekuasaan - bahwa mereka akan sudi menerima Qur ‘an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu mereka tetap membaca Qur’an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiripun telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya dengan tangannya sendiri.”
“Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan Qur’an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah Usman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu tidak seorangpun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah atau menukar isi Qur’an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri.”
“Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushhaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di seluruh daerah itu.”
“Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad? Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah selengkapnya dicapai waktu itu:”
“Pertama - Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Qur’an, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.” Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu’min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Qur’an terdapat peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.”
“Kedua - Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahli Qur’an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur’an dalam satu Mushhaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudahdengan teliti dan sempurna dikumpulkan.”
“Ketiga - Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Qur’an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnyapun sudah banyak sebelum pengumpulan Qur’an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah melalaikan sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu; tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting.”
“Keempat - Isi dan susunan Qur’an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macarn disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.”
“Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran sipenghimpun dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.”
“Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan - adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Qur’an itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad.”
Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang persisnya Qur’an yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat lain dan beranggapan bahwa Qur’an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.
Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.
CARA YANG SEBENARNYA DALAM MENGADAKAN PENYELIDIKAN
Sebenarnya kita dapat saja memberikan argumen-argumen seperti yang dikemukakan oleh Sir Muir dan Orientalis-orientalis lain, yang diambil dari sejarah Islam, kemudian mengembalikan semua itu kepada sumbernya yang semula. Tetapi kita sengaja mengutamakan kutipan itu dari salah seorang Orientalis, mengingat pemuda-pemuda kita masih sangat mendambakan segala yang datang dari Barat, tanpa pengamatan lebih dalam. Ketelitian dalam penyelidikan ilmiah dengan maksud baik hendak mencari kebenaran, seharusnya akan mengantarkan orang ke jalan yang ditempuhnya itu semata-mata untuk kebenaran, lepas dari segala pemalsuan. Seseorang yang mau mengadakan penelitian harus menyelidiki benar-benar sehingga ia sampai kepada kebenaran yang menjadi tujuannya itu, tanpa terpengaruh oleh hawa nafsu dan tanpa teralang oleh tradisi. Kaum Orientalis kadang memang berhasil mencari kebenaran demikian, tapi kadang juga, karena tujuan-tujuan tertentu, merekapun lalu menyimpang. Dan sebagian besar memang begitu. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan sejarah Nabi kita mendapat kesempatan dalam buku ini mengadakan penelitian lebih lanjut.
Baik juga kalau dalam kesempatan ini kita sebutkan bahwa tugas seorang penyelidik tidak akan a priori menerima atau menolak sesuatu masalah, sebelum penelitian atau penyelidikannya itu benar-benar meyakinkan bahwa ia sudah sepenuhnya puas dengan kenyataan yang dicapainya itu tanpa ada kekurangan. Seorang ahli sejarah dalam hal ini tidak berbeda dengan sarjana dalam ilmu pengetahuan lainnya atau dalam bidang-bidang fisika. Penulis sejarah dalam hal ini seharusnya mempelajari buku-buku Orientalis, juga buku-buku sarjana-sarjana Islam.
Apabila untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan itu kita diharuskan mengadakan kritik dan pengamatan terhadap hasil-hasil peninggalan penulis-penulis Arab dan penulis-penulis Islam seperti dalam ilmu kedokteran, astronomi, kimia dan sebagainya, lalu kita menolak mana yang tidak dapat diterima oleh kritik ilmiah, dan menerima mana yang dapat dibuktikan oleh cara-cara kritik demikian itu, maka untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan dalam bidang sejarah inipun kita berkewajiban pula meneliti benar-benar, sekalipun yang berhubungan dengan sejarah Nabi s.a.w. Seorang penulis sejarah bukan hanya sekadar menyalin saja, tapi juga harus membuat kritik terhadap yamg disalinnya itu. Ia harus mengadakan penelitian guna mengetahui kebenaran yang ada sesungguhnya. Kritik adalah langkah kepada penelitian itu.
IImu dan pengetahuan adalah dasar kritik dan penelitian. Sesudah kita mengadakan penelitian seperti yang kita kutipkan mengenai Qur’an dan akurasinya, kita tinggalkan dulu artikel si Muslim Mesir, yang begitu percaya atas segala yang ditulis oleh Orientalis mengenai ayat-ayat yang katanya ditambahkan ke dalam Qur’an, juga tentang nama Nabi yang katanya Qutham atau Quthama itu. Kata-kata demikian ini bukanlah karena terdorong oleh rasa kebenaran, melainkan karena nafsu belaka.
0 comments:
Post a Comment