2.1. KATA PENGANTAR Dari Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar

INTRODUKSI
Oleh almarhum Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi 
(Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar)

SEJAK manusia berada di permukaan bumi ini, hasratnya ingin mengetahui segala hukum dan kodrat alam yang terdapat di sekitarnya, besar sekali. Makin dalam ia meneliti, makin tampak kepadanya kebesaran alam itu, melebihi yang semula. Kelemahan dirinya makin tampak pula dan keangkuhannyapun makin berkurang.

Demikianlah, Nabi yang membawa Islam itupun sama pula dengan alam itu. Sejak bumi ini menerima cahaya Nabi, para ulama berusaha mencari segi-segi kemanusiaan yang besar daripadanya, mencari nilai-nilai Asma Allah dalam pemikirannya, dalam akhlaknya, dalam ilmunya. Dan kalaupun mereka mampu mencapai pengetahuan itu seperlunya, namun sampai kini pengetahuan yang sempurna belum juga mereka capai. Perjuangan yang mereka hadapi masih panjang, jaraknya masih jauh, jalannyapun tak berkesudahan.

Kenabian adalah anugerah Tuhan, tak dapat dicapai dengan usaha. Akan tetapi ilmu dan kebijaksanaan Allah yang berlaku, diberikan kepada orang yang bersedia menerimanya, yang sanggup memikul segala bebannya. Allah lebih mengetahui di mana risalah-Nya itu akan ditempatkan. Muhammad s.a.w. sudah disiapkan membawa risalah (misi) itu ke seluruh dunia, bagi si putih dan si hitam, bagi si lemah dan si kuat. Ia disiapkan membawa risalah agama yang sempurna, dan dengan itu menjadi penutup para nabi dan rasul, yang hanya satu-satunya menjadi sinar petunjuk, sekalipun nanti langit akan terbelah, bintang-bintang akan runtuh dan bumi inipun akan berganti dengan bumi dan angkasa lain.

Kesucian para nabi dalam membawa risalah dan meneruskan amanat wahyu itu, adalah masalah yang tak dapat dimasuki oleh kaum cendekiawan. Bagi para nabi, sudah tak ada pilihan lain. Mereka menerima risalah dan amanat, dan itu harus disampaikan, sesudah mereka diberi cap dengan stempel kenabian. Tugas menyampaikan amanat demikian itu sudah menjadi konsekwensi wajar bagi seorang nabi, yang tak dapat dielakkan. Akan tetapi, tidak selamanya wahyu itu menyertai para nabi dalam tiap perbuatan dan kata-kata mereka. Mereka juga tidak bebas dari kesalahan. Bedanya dengan manusia biasa, Allah tidak membiarkan mereka hanyut dalam kesalahan itu sesudah sekali terjadi, dan kadang mereka segera mendapat teguran.

Muhammad s.a.w. telah mendapat perintah Tuhan guna menyampaikan amanat itu, dengan tidak dijelaskan jalan yang harus ditempuhnya, baik dalam cara menyampaikan risalah atau dalam cara, mempertahankannya. Pelaksanaannya diserahkan kepadanya, menurut kemampuan akalnya, pengetahuannya dan kecerdasannya, sebagaimana biasa dilakukan oleh kaum cerdik-pandai lainnya. Kemudian datang wahyu memberikan penjelasan secara tegas tentang segala sesuatu yang mengenai Zat Tuhan, ke-EsaanNya, Sifat-sifatNya serta cara-cara beribadat. Tetapi tidak demikian tata-cara kemasyarakatan, dalam keluarga, tentang desa dan kota, tentang negara, baik yang berdiri sendiri atau yang terikat oleh negara-negara lain.

Di samping itu masih banyak sekali bidang lain yang harus diselidiki sehubungan dengan kebesaran Nabi s.a.w. sebelum datangnya wahyu. Juga tidak kurang kebesaran itu yang harus diselidiki sesudah datangnya wahyu. Ia menjadi utusan Tuhan dan mengajak orang kepadaNya. Ia melindungi ajakannya (dakwah) itu serta membela kebebasan para penganjurnya. Ia menjadi pemimpin umat Islam, menjadi panglima perangnya; ia menjadi mufti, menjadi hakim dan organisator seluruh jaringan komunikasi dalam hubungan sesamanya dan antar-bangsa. Dalam segala hal ia dapat menegakkan keadilan. Ia mempersatukan bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok itu, sesuai dengan yang dapat diterima akal sehat. Ia telah memperlihatkan kemampuannya berpikir, ketenangannya serta pandangannya yang jauh. Ia dapat memperlihatkan kecerdasannya serta kemampuannya berpikir cepat dan tepat dengan keteguhan hati terhadap setiap kata dan perbuatan. Ia telah menjadi sumber ilmu dan pengetahuan. Ia menjadi lambang kefasihan, yang menyebabkan para ahli dalam bidang itu harus takluk dan menundukkan kepala, mengakui kebesaran dan kedahsyatannya. Akhirnya ia melepaskan dunia fana ini dengan rela hati atas pekerjaannya, yang juga sudah mendapat kerelaan Allah dan kaum Muslimin pula.

Semua segi itu perlu sekali dijadikan bahan studi dan perlu mendapat pengamatan yang lebih teliti. Supaya semua segi itu dapat dilaksanakan dengan baik, tentu tidak dapat dilakukan oleh hanya seorang saja. Bahkan satu segi sajapun takkan dapat dicapai.

Sebagaimana terhadap sejarah hidup orang-orang besar umumnya, orang biasanya suka menambahkan hal-hal yang tidak semestinya, demikian juga terhadap sejarah hidup Muhammad s.a.w.—baik karena didorong oleh rasa cinta dan maksud baik, ataupun karena didorong oleh rasa dengki dan maksud jahat. Hanya bedanya dari biografi orang-orang besar itu ialah, bahwa di sini tidak sedikit yang disertai dengan wahyu Ilahi dan jaminan akan terpeliharanya Qur’an Suci, disamping tidak sedikit pula keterangan-keterangan dari mereka yang hafal Qur’an daripada ahli-ahli hadis yang dapat dipercaya. Atas landasan-landasan yang kuat itulah penulisan sejarah harus didasarkan, dan dari situ pula para sarjana harus mengambil sumber-sumber pemikiran dan penelitiannya. Kemudian lalu membuat suatu analisa yang benar-benar ilmiah sifatnya, dengan melihat suasana lingkungan dan milieu serta kepercayaan-kepercayaan, susunan masyarakat dan adat-istiadat dari segala seginya yang berbagai ragam itu.

Dalam hal ini Dr. Haekal telah menyelesaikan karyanya, Hayat Muhammad, tentang peri hidup Muhammad s.a.w. Dengan senang hati sekali saya telah membaca sebagian buku itu sebelum seluruhnya selesai dicetak. Di kalangan pembaca berbahasa Arab Dr. Haekal sudah cukup dikenal dengan karya-karyanya yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga tidak perlu lagi rasanya diperkenalkan. Dia adalah seorang sarjana hukum dan ahli filsafat. Posisi dan sifat jabatannya memungkinkan dia mengadakan hubungan dengan kebudayaan lama dan kebudayaan modern. Dalam hal ini ia telah dapat melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya. Ia sering bertukar pikiran dan berdiskusi mengenai masalah-masalah kepercayaan, pandangan hidup, mengenai kaidah-kaidah sosial, politik dan sebagainya. Dengan demikian ia berpikir lebih matang, pengalaman dan pengetahuannyapun makin luas, pandangannya juga cukup jauh pula. Ia dapat mempertahankan pendapatnya itu dengan logika dan argumentasi yang kuat , dengan gayanya yang khas dan sudah cukup dikenal.

Dengan intelegensia dan kemampuan semacam itulah Dr. Haekal menulis bukunya itu. Dalam kata pengantarnya ia menyebutkan:

“Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan, bahwa saya sudah sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup Muhammad. Bahkan barangkali akan lebih tepat bila saya katakan, bahwa saya baru dalam taraf permulaan mengadakan penyelidikan dengan metoda ilmiah yang baru dalam bahasa Arab ini. Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah mengharuskan kita --apabila kita hendak mengadakan suatu penyelidikan—terlebih dulu kita membebaskan diri dari segala prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada diri kita, yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah kita memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen, mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi. Apabila semua itu sudah dapat disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu pun dengan sendirinya masih perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini sudah merupakan suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah yang terbaik yang pernah --dicapai umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian inilah yang menjadi pegangan Muhammad”.

Bahwa metoda demikian ini adalah metoda Qur’an, hal itu sudah tidak perlu diragukan lagi. Bagi Qur’an rasio harus menjadi juru penengah, sedang yang harus menjadi dasar ilmu ialah pembuktiannya. Qur’an mencela sikap meniru-niru buta dan mereka-reka yang hanya didasarkan pada prasangka. “Dan bahwa prasangka itu tidak berguna sedikit pun terhadap kebenaran”1 Mengkultuskan suatu kebiasaan, yang hanya karena dilakukan oleh nenek moyang, juga dicela. Qur’an mengharuskan orang berdakwah itu dengan pikiran yang bijaksana. Kekuatan mujizat Muhammad s.a.w. hanyalah dalam Qur’an, dan mujizat ini sungguh rasionil adanya.

Sajak Bushiri2 berikut ini memang indah sekali:

Tidak sampai kita dicoba
Yang akan meletihkan akal karenanya
Sebab sayangnya kepada kita
Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.

Kalau cara pembahasan demikian ini merupakan suatu cara yang baru, memang suatu hal yang tak dapat dielakkan. Dr. Haekal sudah bergaul dengan ulama dan sarjana-sarjana lain dalam hal ini. Dan memang ini pula cara Qur’an seperti sudah dikatakannya tadi. Dan memang itu pula yang pernah ditempuh sarjana-sarjana Islam dahulu. Coba kita lihat misalnya buku-buku ilmu kalam (teologi spekulatif); mereka menentukan, bahwa kewajiban kita pertama ialah mengenal Tuhan (ma’rifatullah). Yang lain berkata: Tidak. Yang pertama harus ditempuh ialah syak (skepsis). Lalu tak ada jalan lain untuk mencapai ma’rifat (connaissance) itu kecuali dengan pembuktian. Dan kalaupun itu dapat digolongkan ke dalam pengertian syllogisma namun premisa-premisanya harus sudah pasti dan dapat dirasakan, dan secara intuitif akhirnya dapat pula dipahami berdasarkan pengalaman yang sempurna dan dapat dipastikan sungguh-sungguh, seperti sudah biasa dikenal dalam logika. Setiap kesalahan yang dapat menyusup ke dalam premisa-premisa itu atau ke dalam bentuk penyusunannya, dapat merusak pembuktian tersebut.

Yang menempuh jalan demikian ini ialah Imam Ghazali. Dalam salah satu bukunya ia mengatakan, bahwa terlebih dulu ia membebaskan diri dari segala macam konsepsi. Kemudian baru ia berpikir dan menimbang kembali, menyusun kembali lalu membuat beberapa perbandingan. Dikemukakannya beberapa argumentasi, diujinya dan dianalisa. Dari semua itu kemudian ia memperoleh petunjuk, bahwa Islam dan tuntunan yang diberikan menurut konsepsi Islam adalah benar. Imam Ghazali melakukan ini guna menghindarkan hal-hal yang bersifat taklid. Ia ingin membina keimanannya itu atas dasar iman yang pasti, yang berlandaskan argumen dan pembuktian, yakni iman yang kebenarannya sudah menjadi pegangan kaum Muslimin tanpa ada khilafiah.

Juga dalam buku-buku ilmu kalam tidak sedikit kita jumpai kisah abstraksi (pembebasan diri dari segala kepercayaan dan konsepsi) yang sudah biasa dikenal dalam rukun iman itu, kemudian dibahas dan ditinjaunya kembali. Abstraksi adalah cara yang sudah lama ada, juga dengan cara-cara eksperimen dan penyelidikan sudah lama ada. Eksperimen dan penyelidikan yang sempurna ialah hasil daripada suatu observasi. Semua itu bagi kita bukan barang baru. Akan tetapi cara-cara lama ini, baik dalam teori maupun praktek, yang subur di Timur hanyalah cara-cara taklid dengan mengabaikan peranan rasio. Sesudah kemudian oleh orang Barat dikeluarkan kembali dalam bentuk yang lebih matang sehingga dapat dimanfaatkan --baik dalam teori ataupun praktek-- kitapun lalu kembali mengambil dari sana. Demikian juga dalam ilmu pengetahuan kita menganggapnya sebagai sesuatu yang baru pula.

Ketentuan ilmiah dalam cara penyelidikan demikian ini sudah cukup dikenal, baik yang lama maupun yang modern. Untuk sekedar mengetahui memang mudah, tapi melaksanakannya itulah yang sulit. Orang tidak banyak berselisih pendapat mengenai pengetahuan tentang hukum, misalnya. Tetapi dalam melaksanakan ketentuan hukum itu, pendapat orang jauh sekali berbeda-beda.

Membebaskan diri dari konsepsi, observasi dan eksperimen, induksi dan deduksi, adalah kata-kata yang mudah. Akan tetapi bagi orang yang sudah begitu jauh hanyut dalam beban warisan yang sudah mendarah daging, dalam beban lingkungan, dalam rumah tangga, dalam desa, kota, negara atau dalam sekolah, tekanan-tekanan kepercayaan yang sudah ada, temperamen, kesehatan, penyakit serta segala macam nafsu, bagaimanakah akan dengan mudah melaksanakannya? Di sinilah terletak penyakit itu, dahulu dan sekarang. Itu pula sebab timbulnya bermacam-macam aliran dan berubah-ubahnya pendapat, berpindah-pindah dari daerah ke daerah lain, dari bangsa kepada bangsa lain. Seperti juga kaum wanita yang berganti mode, filsafat dan peradaban pun berganti corak, generasi demi generasi. Dan jarang sekali ada sesuatu yang tak lapuk di hujan tak lekang di panas. Bahkan perubahan itu berjalan sesuai dengan kaidah-kadiah ilmu pengetahuan yang sejak berabad-abad tidak pernah diragukan. Terhadap teori relativitas misalnya, para sarjanapun goyah dan cepat-cepat merombaknya. Pendapat-pendapat tentang patologi, tentang terapi, tentang gizi, semua ini masih dalam proses yang berubah-ubah. Demikian juga apabila kita perhatikan pelbagai macam produk otak manusia tidak pernah stabil sebelum disertai pembuktian dengan syarat-syarat yang cukup.

Akan tetapi apa artinya semua ini meskipun sudah dilengkapi dengan segala pembuktian, bila dibandingkan dengan yang lain, yang sudah penuh dengan segala macam prasangka dan angan-angan, yang sudah sarat oleh pikiran-pikiran yang sakit atau di bawah tekanan politik. Hal inilah yang diketengahkan oleh para ulama dan sarjana yang gemar mengadakan pertentangan dengan pihak lain, dengan melahirkan aliran-aliran dan pendapat-pendapat demikian itu! Kekacauan pikiran ini mungkin akan mengurangi semangat ulama atau sarjana-sarjana yang hanya mendewa-dewakan akal semata. Dan pada waktunya akan mengalihkan pandangan mereka kepada kebenaran dan keimanan, yakni wahyu yang sebenarnya, yaitu Qur’an Suci dan Sunah yang sahih.

Baiklah, sekarang kita kembali kepada Dr. Haekal dan bukunya ini.

Beberapa ahli ilmu kalam mengatakan, bahwa dengan memperhatikan astronomi dan anatomi jelas sekali menunjukkan sempurnanya kodrat Ilahi tentang susunan alam ini. Dan sayapun memperkuat pendapat ini, bahwa ilmu pengetahuan dan penemuan mengenai ketentuan-ketentuan serta segenap rahasia alam semesta inipun akan menjadi pendukung agama, akan memperdekat pikiran manusia menempuh jalan pengertian yang tadinya masih kabur, yang tadinya masih di luar jangkauan otaknya. Akhirnya akan dapat memahami, sejalan seperti yang difirmankan Tuhan:

“Akan segera Kami perlihatkan bukti-bukti Kami dalam segenap penjuru alam dan dalam diri mereka sendiri, sehingga ternyata bagi mereka bahwa inilah Kebenaran itu. Belum cukupkah, bahwa Tuhanmu menjadi Saksi atas segalanya?"3

Soal-soal elektro dan segala yang dihasilkannya seperti penemuan-penemuan lainnya, membantu otak kita memahami adanya perubahan benda kepada tenaga dan tenaga kepada benda. Demikian juga spiritualisma telah banyak menerangkan hal-hal yang tadinya masih dipersengketakan; ternyata ini membantu memahami adanya pembebasan ruh dan kemungkinan terpisahnya ruh itu serta memahami kecepatan yang dimiliki ruh itu menempuh jarak yang jauh. Dr. Haekal telah memanfaatkan hal ini dalam mengartikan kisah Isra dengan cara yang agak baru. Rasanya akan terlalu panjang saya bicara bila harus menguraikan faedah yang akan kita peroleh dari buku Dr. Haekal ini. Cukuplah kalau saya sebutkan secara keseluruhan saja. Orang akan melihat sendiri keindahannya, akan menikmati sendiri hasil pikirannya yang didasarkan kepada bahan-bahan yang otentik itu, didasarkan kepada pemikiran yang logis, yang didukung oleh bawaan sewajarnya. Orang akan melihat bahwa Dr. Haekal sungguh jujur dalam mencari kebenaran, keyakinan memenuhi kalbunya akan hidayah dan nur yang dibawa dalam wahyu Muhammad, akan keindahan, kebesaran, suri-teladan dan kemuliaan yang terdapat dalam biografi Nabi s.a.w. Ia sudah yakin seyakin-yakinnya, bahwa agama yang dibawa Muhammad inilah yang akan mengangkat umat manusia dari sarang kebalauan dan kebingungan, yang akan mengangkat mereka dari kegelapan materi, dan menyinari mata hati mereka dengan cahaya iman, mengantarkan mereka kepada Nur Ilahi. Mereka akan menyadari betapa luas rahmat Tuhan yang meliputi segalanya itu, betapa besar keagunganNya, seluruh langit dan bumi memuliakanNya dan segala yang ada memuliakanNya; betapa besar kekuasaanNya, segala yang ada menjadi kecil di hadapanNya.

Seperti dikatakannya: “Dengan melihat lebih jauh dari itu saya berpendapat, penyelidikan demikian sudah seharusnya akan mengantarkan umat manusia ke jalan peradaban yang selama ini dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat merasa dirinya terlampau besar akan mendapatkan cahaya baru itu dari Islam dan dari Rasul, lalu menantikan cahaya itu akan datang dari teosofi India dan dari pelbagai macam aliran di Timur Jauh lainnya, maka orang-orang di Timurpun, baik umat Islam, Yahudi atau Kristen, layak sekali bertindak mengadakan penyelidikan berharga ini, dengan sikap yang bersih dan jujur, yakni satu-satunya cara yang akan mencapai kebenaran.

Cara pemikiran Islam yang pada dasarnya adalah pemikiran ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidup sekitarnya, yang dari segi ini realistik sekali, berubah menjadi pemikiran yang subyektif ketika masalahnya menjadi hubungan manusia dengan alam semesta dan Pencipta alam”.

Dan katanya lagi: “Akan tetapi adanya gejala-gejala akan lenyapnya paganisma yang sekarang menguasai dunia kita, mengemudikan kebudayaan yang berkuasa sekarang (the ruling culture), tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa dunia. Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah hidup Muhamnad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya, masanya serta revolusi rohani yang terbesar ke seluruh dunia, barangkali gejala-gejala ini akan makin jelas di depan mata dunia, bahwa masalah-masalah rohani ini timbul dari pengaruh sebagai peninggalannya.”

Dan keyakinan ini diperkuat oleh kenyataan, bahwa apa yang sekarang dapat dilihat dari perhatian pihak Barat terhadap penyelidikan peninggalan-peninggalan Timur serta perhatian para sarjana mengadakan studi tentang Islam dari segala seginya, tentang umat Islam masa kini dan masa lampau serta kesadaran sebahagian mereka terhadap diri Nabi s.a.w., ditambah pula oleh pengalaman yang memperkuat, bahwa kebenaran pasti akan menang, --semua itu menunjukkan bahwa Islam akan mengembangkan panjinya ke segenap penjuru dunia, dan orang yang kini sangat keras memusuhinya, dia juga nanti yang akan menjadi orang paling bersemangat membelanya, dan mereka yang tadinya masih asing itu akan menjadi kawan seperjuangan pula. Sebagaimana pada mulanya Islam mendapatkan pembelaan dari orang-orang asing (dari luar) lingkungan masyarakat tempat kelahirannya, juga akhirnya orang-orang asing (luar) dari bahasa dan tanah airnya itu yang akan membelanya. Islam telah dimulai secara asing dan akan kembali asing seperti pada mulanya. Maka bahagialah orang-orang yang asing itu!

Apabila Nabi s.a.w. adalah Nabi penutup dan takkan ada lagi di dunia ini seorang penunjuk dan pembimbing lain sesudah dia, dan agamanyapun agama yang sempurna sebagaimana ditegaskan oleh wahyu, maka tidak mungkin keadaannya akan berhenti sampai di situ saja seperti selama ini. Cahayanya pasti akan pudar oleh yang lain, sama halnya seperti bintang-bintang yang jadi pudar oleh sinar matahari.

Dr. Haekal yang merangkaikan peristiwa-peristiwa itu satu sama lain memang tepat sekali. Bukunya inipun ternyata disusun dalam komposisi dan gaya yang teratur dan kuat. Diterangkannya alasan-alasan, maksud dan pertimbangannya dengan keterangan yang jelas dan kuat sekali, membuat pembaca merasa puas dan lega, merasa ada gairah dalam membaca, merasa sejuk hatinya karena dapat diyakinkan. Ia akan terpengaruh, akan dipaksanya terus membaca dan takkan melepaskannya sebelum selesai.

Dalam buku ini terdapat beberapa penyelidikan berharga di luar penulisan biografi, tetapi yang ada hubungannya dengan soal itu yang terbawa oleh adanya penguraian lebih luas dalam memberikan keterangan itu.

Saya sudahi pengantar saya ini dengan ucapan Rasulullah --salam baginya dan bagi keluarganya yang suci serta sahabat-sahabatnya: “Aku berlindung kepada Nur WajahMu, yang telah menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan kepadaku, atau kebencianMu yang akan Kauturunkan kepadaku. KeridaanMu juga yang kuminta. Tak ada suatu daya upaya kalau tidak dengan Allah.”

15 Pebruari 1935.

MUHAMMAD NIUSTAFA AL-MARAGHI


Catatan kaki:

1 Qur’an, 53: 28.
2 Syarafuddin Muhammad al-Bushiri penyair Arab
berasal Barbar di Afrika Utara, lahir di Mesir sekital 1212. Ia terkenal sekali hanya karena antologinya Al-Burda (“Mantel”). Ia pernah tinggal lama di Darussalam (Yerusalam) kemudian di Hijaz. Puisi-puisinya yang masyhur itu ditulis di Mekah. Pada mulanya ia menderita penyakit lumpuh. Dalam tidurnya penyair ini konon bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad yang datang kepadanya dan menyelimutinya dengan mantelnya. Bushiri terkejut bangun dan melompat, sehingga ketika itu juga ia sembuh dari kelumpuhannya. Lalu ia menulis puisinya yang luar biasa itu, lembut dan mengharukan, sebagai dedikasi dan eulogi kepada Nabi Muhammad. Bushiri meninggal sekitar tahun 1294 di Iskandaria. Al-Burda terjemahan bahasa Inggris The Scarf dilakukan oleh Faizullah Bahi (1893) dan dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Moh. Tolchah Mansoer. SH (A).
3 Qur’an, 41: 53



0 comments:

Post a Comment